Minggu, 06 November 2011

Pelanggaran Etika Kedokteran

I.                 Abstraksi

Pengetahuan pasien terhadap kelalaian dan malpraktik medis pada umumnya sangat kurang. Pasien umumnya hanya dapat menerima saja segala sesuatu yang dikatakan dokter tanpa dapat bertanya apapun. Dengan kata lain, semua keputusan sepenuhnya berada ditangan dokter.
Banyak kasus kelalaian medis dan malpraktik yang terjadi, namun pelakunya (dokter) tidak diberi hukuman yang setimpal. Kemudian IDI pun tidak mengambil keputusan seperti mengeluarkan dokter tersebut, sepertinya IDI sangat menjunjung tinggi teman sejawatnya.

II.            Pendahuluan

      Tulisan ini dimaksudkan untuk menambah wawasan tentang kelalaian dan malpraktik medik bagi semua pihak, agar ketertiban dalam profesi dapat diwujudkan. Selain itu, pengalaman-pengalaman buruk sebagai akibat negatif kemajuan dan perkembangan yang terjadi dimasyarakat, harus diwaspadai untuk tidak terulang dinegara kita. Semua pihak tentu tidak menghendaki peristiwa krisis malpraktik yang sangat merugikan masyarakat (seperti yang pernah terjadi di Amerika Serikat) terulang kembali di Indonesia. Maka pasien perlu dibekali ilmu tentang kelalaian dan malpraktik medik.
      Disadari atau tidak, banyak kalangan dalam masyarkat berpendapat IDI (Ikatan Dokter Indonesia) tidak pernah obyektif dalam menangani kasus-kasus pelanggaran etika yang diadukan. Buktinya selama ini nyaris tidak ada pelanggaran kode etik yag dikenakan sanksi oleh IDI, setidaknya yang diketahui masyarakat luas. Kasus-kasus yang jelas dan kasat mata melanggar etika kedokteran pun tidak pernah jelas penanganannya.
      Yang disaksikan oleh masyarakat, dokter yang diadukan melanggar etika tersebut tetap berpraktik seperti biasa, justru anehnya dengan dalih tidak ada pelanggaran etika atau pengaduan oleh masyarakat salah alamat, aneh sekali, bukan?
      Berkaitan dengan luasnya pelanggaran etika oleh para dokter dan pembiaraan oleh IDI, banyak kalangan masyarakat yang bahkan bertanya-tanya, apakah profesi kedokteran itu masih punya etika atau tidak? Kalau masih punya etika, mengapa dokter-dokter yang melanggar etika tidak secara proporsional menurut norma dan values KODEKI tersebut? Atau keberadaan IDI/MKEK malahan justru menjadi “legitimasi’ atau pembenaran terhadap pelanggaran-pelanggaran etika itu sendiri?
      Seharusnya kasus-kasus demikian itu diproses dengan proporsional, transparan, jujur dan adil, tentu jika semua itu dilakukan masyarakat akan puas dengan keputusan yang diambil oleh IDI/MKEK.
     III.     Isi

     1.  Pengertian

                        Kelalaian dan malpraktik medik merupakan sesuatu yang berbeda. Malpraktik adalah tindakan-tindakan sengaja dan melanggar hukum yang berlaku. Akibat yang ditimbulkan memang merupakan hukum yang berlaku[1]. Akibat yang ditimbulkan memang tujuan dari tindakan tersebut. Dalam kepustakaan hukum kedokteran tercatat hanya beberapa kasus saj yang dapat digolongkan sebagai kasus malpraktik, lainnya dapat berupa kelalaian atu bahkan kecelakan medik. Secara yuridis, penilaian atas tindakan dokter bukanlah berdasarkan hasil melainkan berdasarkan kepada usaha atau upaya yang sebaik-baiknya.
           
     2.   Standar Profesi Medik
           
            Menurut Leenen, bahwa apa yang dikenal dalam dunia kedokteran sebagai lege artis, pada hakekatnya adalah suatu tindak medik yang dilakukan sesuai dengan SPM tersebut. Meskipun sampai saat ini SMP belum dapat dirumuskan di Indonesia, tetapi hukum dapat merujuk pada pustaka-pustaka negeri lain yang telah memilikinya. SPM menurut Leenen terdiri dari beberapa unsur utama, yaitu:
1.         Bekerja dengan teliti, hati-hati dan saksama
2.         Sesuai dengan ukuran medis
3.         Sesuai dengan kemampuan rata-rata dibanding dengan dokter dari kategori keahlian medik yang    
            sama
4.         Dalam situasi yang sebanding
5.         Dengan sarana dan upaya yang memenuhi prbandingan wajar dibanding dengan tujuan konkret tindak
             medik tersebut.
            Seorang dokter yang menyimpang dari SPM, dikatakan telah melakukan kelalaian atau kesalahan dan hal ini menjadi salah satu unsur dari malpraktik medik, yakni apabila kesalahan atau kelalaian itu bersifat sengaja serta menimbulkan akibat yang serius atau fatal pada pasien.
Kemudian jika seorang dokter yang melanggar atau menyimpang dari SPM dikatakan telah melakukan kesalahan profesi tetapi belum tentu merupkan malpraktik medik yang dipidana. Untuk pemidanaan suatu malpraktik medik perlu ada pembuktian adanya unsur kelalaian berat, dan akibat fatal atau serius karena ilmu kedokteran sebenarnya berdasarkan ilmu dan pengalaman, maka tidak ada hal yang bsolut dalam ilmu kedokteran, dan seorang dokter dapat memilih satu dari beberapa alternatif yang ada. Beberapa penulis mengatakan bahwa perbedaan pendapat antara seorang dokter bukan berarti pelanggran SPM, karena dokter dapat memilih pilihan pengobatan sepanjang kesetujuan dari pasien dan masih dalam batasan ilmu kedokteran.         


          3. Aspek pidana tindak malpraktik dan kelalaian medik

            Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana, apabila secara teoritis paling sedikit mengandung 3 unsur, yaitu:
1. melanggar norma hukum pidana tertulis
2. bertentangan dengan hukum
3. berdasarkan suatu kelalaian atau kesalahan besar
            Dalam bidang hukum, hukum pidana termasuk dalam hukum yang berlaku umum, dimana setiap orang harus tunduk kepada peraturan ini dan pelaksanaan peraturan ini dapat dipaksakan. Setiap anggota masyarakat (termasuk dokter) tanpa kecuali harus taat, juga termasuk orang asing yang berada dalam yuridiksi negara RI.
            Tuntutan malpraktik berdasarkan HukumPidaan yang tercatat dalam literatur sebenarnya tidaklah banyak. Meskipun demikian, perlu diketahui beberapa perbuatan yang dapat dikategorikan dalam malpraktik pidana, antara lain:
v  Menipu pasien (pasal 378 KUHP)
v  Tindak pelanggaran kesopanan (pasal-pasal 290, 294, 285, dan 286 KUHP)
v  Pengguguran kandungan tanpa indikasi medik (pasal-pasal 299, 348, 349, dan 350 KUHP)
v  Sengaja membiarkan pasien tidak tertolong (pasal 322 KUHP)
v  Membocorkan rahasia  medik (pasal 322 KUHP)
v  Lalai sehingga mengakibatkan kematian atau luka-luka (pasal 359, 360, dan 361 KUHP)
v  Memberikan atau menjual obat palsu (pasal 386 KUHP)
v  Membuat surat keterangan palsu (pasal 263 dan 267 KUHP)
v  Melakukan Euthanasia (pasal 344 KUHP)

Aspek perdata Malpraktik dan kelalaian medik
Berbeda dengan hukum pidana yang bertujuan menyeleggrakan ketertiban dan keamanan dalam masyarakat, hukum perdata menganut prinsip “Barang siapa merugikan orang lain, harus memberikan ganti rugi.”
v  Wanprestasi (pasal 1239 KUHPerdata)
v  Perbuatan melanggar hukum (pasal 1365 KUHPerdata)
v  Melalaikan kewajiban (pasal 1367 KUHPerdata)
v  Kelalaian yang mengakibatkan kerugian (pasal 1366 KUHPerdata)

          4. Kasus Malpraktik yang terjadi di Indonesia

            Contoh kasus malpraktik yang pernah terjadi ialah kasus Sita Dewati Darmoko. Dia istri bekas Direktur Utama PT aneka tambang, Darmoko. Menderita tumor ovarium, Sita dioperasi di satu rumah sakit di Jakarta. Keluar dari kamar bedah, sita malah tambah parah. Dia akhirnya meninggal.rumah sakit menjanjikan ganti rugi Rp. 1 miliar, tapi ingkar. Akhirnya keluarga almarhum menggugat perdata rumah sakit tersebut. Majelis mengabulkan. Rumah sakit harus membayar Rp. 2 miliar kepada keluarga malang itu. Hakim menyebut dokter itu tidak teliti.
            Dari contoh kasus di atas, dokter tersebut jelas melanggar kode etik kedokteran, kerena dokter tersebut menyimpang dari Standar Profesi Medik. Dokter tersebut terkena pasal pasal 359, 360, dan 361 KUHP karena lalai sehingga mengakibatkan kematian orang lain. Dan terkena hukum perdata karena Kelalaian yang mengakibatkan kerugian (pasal 1366 KUHPerdata).
            Kasus tersebut merupakan salah satu kasus malpraktik yang bisa terungkap dan dapat penyelesaian secara tuntas. Tetapi masih banyak kasus malpraktik yang sudah mencuat kemuka publik tetapi tidak mendapat penyelesaian secara tuntas, tidak hanya itu, kasus malpraktik yang tidak dilaporkan pun banyak, keluarga korban malpraktik hanya bisa pasrah menghadapi kenyataan. Berikut ini contoh kasus malpraktik yang pelakunya (dokter) tidak mendapatkan ganjaran yang setimpal.
Malpraktik sangat trekenal adalah kasus di Wedariyaksa, Pati, Jawa Tengah, pada 1981. Seorang wanita, Rukimini Kartono, meninggal setelah ditangani Setianingrum, seorang dokter puskesmas. Pengadilan Negeri memvonis si dokter bersalah. Dia dihukum tiga bulan penjara. Dia selamat dari hukuman, setelah kasasi ke Mahkamah Agung. (VIVAnews)
             Dokter tersebut jelas melanggar kode etik kedokteran, kerena dokter tersebut menyimpang dari Standar Profesi Medik. Dokter tersebut terkena pasal pasal 359, 360, dan 361 KUHP karena lalai sehingga mengakibatkan kematian orang lain. Dan terkena hukum perdata karena Kelalaian yang mengakibatkan kerugian (pasal 1366 KUHPerdata).
            Melihat kasus-kasus malpraktik yang semakin meningkat frekuensinya tentu pemerintah tidak bisa tinggal diam. Kemudian landasan utama eksistensi dan legitimasi dari organisasi profesi yang disebut IDI ialah Kode Etik Kedokteran dan Sumpah dokter. Tujuan dan fungsi utama organisasi ini ialah menjaga martabat luhur profesi kedokteran, yakni dengan melaksanakan dan mengamalkan KODEKI tersebut secara konsisten dan konsekuen. Itulah sebenarnya hakikat dan “khittah” dari IDI. Disadari atau tidak, banyak kalangan dalam masyarakat berpendapat IDI tidak pernah objektif dalam menangani kasus-kasus pelanggaran etika yang diadukn. Buktinya selama ini nyaris tidak ada pelanggaran KODEKI yang dikenakan sanksi oleh IDI, setidaknya yang diketahui masyarakat luas. Kasus-kasus yang jelas dan “kasat mata” melanggar etika kedokteran pun tidak pernah jelas penanganannya.
            Sebaliknya, dikalangan dokter sendiri berkembang suatu mispersepsi yang sangat menyesatkan, berpegang pada diktum “Teman sejawat akan saya perlakukan sebagai saudara kandung” yang merupakan Kewajiban Dokter terhadap teman sejawat sebagai bagian dari KODEKI. Dengan begitu, IDI telah dipersepsikan secara sempit sebagai organisasi yang fungsi utamanya adalah membela para anggotanya yang disebut dokter, apa pun yang dilakukannya. Apalagi dengan telah membayar iuran, beberapa kalangan dokter berpendapat IDI harus membla dokter, melanggar atau tidak melanggar etika.          
          5. Perselisihan Hukum Kedokteran dan Pembuktiannya

            Dalam negara hukum sepeti yang dianut Indonesia berlaku asas utama rule of law yang diterjemahkan sebagai Aturan Hukum yang salah satu unsurnya adalah Asas Prduga Tak Bersalah. Asas ini menegaskan bahwa seorang tersangka harus dianggap tidak bersalah sampai dapat dibuktikan kesalahannya, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 66 kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP) yang berbunyi “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani beban pembuktian:. Selanjutnya pasal 58 KUHP juga menegaskan “Hakim dilarang menunjukan sikapatau mengeluarkan pernyataan tentang keyakinana mengenai masalah salah atau tidaknya terdakwa.” Bagaimana dengan perselisihan hukum yang terjadi diantara dokter dan pasien yang pengaturannya berada dalam lingkup hukum kedokteran?
            Pertama, harus diingat bahwa sesuai dengan status negara hukum Indonesia, maka setiap warga tanpa kecuali harus taat dan tunduk kepada hukum. Dalam hal ini  dokter pun harus tunduk kepada hukum dengan segenap asa-asanya.
            Kedua, dalam perselisihan hukum apapun, selalu akan diawali dengan pertanyaa : apakah ada bukti untuk perkara tersebut? Kemudian apakan bukti tersebut sudah meyakinkan?
            Ketiga, hukum kedokteran termasuk dalam lingkup ilmu hukum yang berlaku asas-asas serta prinsip-prinsip ilmu hukum dan sama sekali bukanlah asas atau prinsip ilmu kedkteran.
            Keempat, perkara hukum kedkteran umumny memiliki ciri khusus bahwa perkara hukum kedokteran yang merupakan delik aduan lebih menyoroti masalah proses timbulnya perkara, bukan pada hasil atau akibat perbuatan tersebut. Dengan demikian, dapat saja terjadi seorang pasien meninggal ditangan seorang dokter tetapi dokter itu tidak dihukum karena semua proses hukum telah dipenuhinya secara benar, yaitu pemenuhan SPM.

5. Kode Etik Kedokteran di Singapura

Tentang Mengakibatkan mati atau luka karena kealpaan

Section 304 A

Whoever causes the death of any person by doing any rash or
negligent act not amounting to culpable homicide, shall be punished with imprisonment for a term which may extend to two years, or with fine, or with
both.[2]





KUHP Singapura
KUHP Indonesia
Pasal 304 A
Barangsiapa menyebabkan
kematian seseorang yang dilakukan
dengan gegabah atau kelalaian,
perbuatan tersebut tidak sama
dengan pembunuhan bersalah ,
dapat dipidana dengan pidana
penjara untuk jangka waktu paling
lama dua tahun atau denda, atau
keduanya.                       
Pasal 359
Barang siapa karena kealpaannya
menyebabkan matinya orang lain
diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau kurungan
paling lama satu tahun

            Tindak pidana dalam pasal 304 A ini , sama dengan tindak pidanadalam pasal 359 KUHP Indonesia , tetapi rumusan pidananya berbeda. Dalam KUHP Singapura pidananya dirumuskan secara alternatif – kumulatif yaitu pidana penjara paling lama dua tahun atau denda , atau keduanya , yang dimaksud dengan keduanya adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun ditambah denda. Dalam KUHP Indonesia pidananya dirumuskan secara alternative yaitu pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama 1 tahun . Dengan memperhatikan dan menganalisa serta membandingkan KUHP, Konsep KUHP 2008, KUHP Singapura maka dapat diambil kesimpulan bahwa kebijakan hukum pidana yang akan datang :
Berkaitan dengan kebijakan hukum pidana yang akan datang yang berhubungan dengan penanggulangan tindak pidana malpraktik kedokteran dirasakan perlu menggunakan sistem pidana minimum khusus sebagaimana di dalam konsep. Menurut Barda Nawawi Arief adanya pidana minimum khusus untuk delik – delik tertentu mempunyai suatu landasan antara lain

1) Untuk mengurangi adanya disparitas pidana
2) Untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya standar minimal yang  
    objektif untuk delik – delik yang sangat dicela dan merugikan atau membahayakan masyarakat  
    atau negara

3) Untuk lebih mengefektifkan prevensi umum
           
            Mengenai Pertanggungjawaban korporasi sebenarnya telah diatur di dalam Pasal 41 ayat 2 Undang – Undang Praktik kedokteran yaitu membuat daftar dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di sarana pelayanan kesehatan yang bersangkutan, tetapi sanksi terhadap pelanggaran kewajiban tersebut tidak diatur secara jelas mengenai sanksi
yang dapat dijatuhkan.
            Sanksi yang berkaitan dengan korporasi hanya yang berkaitan dengan larangan yang tercantum dalam Pasal 42 Undang – Undang Praktik kedokteran dimana sarana pelayanan kesehatan dilarang mengizinkan dokter berpraktik tanpa ada surat izin praktik . Ketentuan tentang sanksi yang berkaitan dengan korporasi tersebut diatur di dalam Pasal 80 ayat 2 Undang
– Undang Praktik kedokteran. Oleh karena itulah maka kebijakan formulasi hukum pidana yang akan datang khususnya yg terdapat di dalam Undang – Undang 29 Tahun 2004 dapat diperluas tidak hanya terpusat pada pelanggaran membuat daftar dokter semata.

IV. Kesimpulan dan saran
           
            Kesimpulan

ü  Malpraktik adalah tindakan-tindakan sengaja dan melanggar hukum yang berlaku. Akibat yang ditimbulkan memang merupakan hukum yang berlaku

ü  Setiap dokter harus menggunakan SPM agar tidak terjadi malpraktik yang akan merugikan dirinya maupun pasien
ü  Ada dua aspek hukum kedokteran, yakni aspek hukum pidana dan aspek hukum perdata
ü  Tindak pidana dalam pasal 304 A ini , sama dengan tindak pidanadalam pasal 359 KUHP Indonesia , tetapi rumusan pidananya berbeda. Dalam KUHP Singapura pidananya dirumuskan secara alternatif – kumulatif yaitu pidana penjara paling lama dua tahun atau denda , atau keduanya , yang dimaksud dengan keduanya adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun ditambah denda. Dalam KUHP Indonesia pidananya dirumuskan secara alternative yaitu pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama 1 tahun .

Saran

ü  IDI harus bersikap objektif terhadap para dokter yang melakukan kasus malpraktik
ü  Penambahan dokter-dokter yang berkualitas, karena Ikatan dokter Indonesia hanya memiliki dokter sebesar 50.000
ü  Kasus malpraktik ini juga dikarenakan seorang dokter memiliki lebih dari 3 tempat praktik, maka keasal-aslan dalam memeriksa dan mengidentifikasi penyakit pasien tdak maksimal, tidak heran jika kasus malpraktik marak terjadi. Sehingga harus ada pembatasan tempat praktik bagi para dokter.












Referensi

Achadiat, c. M. (2007). Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zama. Jakarta: pENERBIT Buku Kedokteran EGC.
http://sorot.vivanews.com/news/read/34856-tabib_pengantar_maut. (t.thn.). Diambil kembali dari www.google.com.




[1] Chrisdiono M. Achadiat, Dinamika etika dan Hukum KEDOKTERAN dalam Tantangan Zaman, Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal 56.
[2] Republik of Singapore Chapter 103, Penal Code, Arrangement of Section, Edition of 1970

1 komentar:

  1. Saya Mau bertanya apakah perselingkuhan antar dokter (sudah berkeluarga) dengan dokter termasuk pelanggaran kode etik?

    Bila "iya" :
    1. Dimanakah tempat yang tepat utk mengadukan nya?
    2. Apa sanksi nya (apabila 2 dokter ygbselingkuh tersebut statusnya masih residen)

    Atas jawabannya Saya mengucapkan beribu-ribu terimakasih

    BalasHapus