Minggu, 06 November 2011

Gizi Buruk dalam Kajian Filsafat

I.       Abstraksi
            Pada umumnya gizi buruk dikenal karena kurangnya asupan makanan. Tetapi ketika mempelajari penyebab gizi buruk lebih dalam, permasalahnya bukan hanya itu saja, melainkan sangat kompleks. Berbagai faktor lain turut ikut andil dalam meningkatnya kasus gizi buruk.      
                        Data statistik angka Kematian Bayi (AKB) yang masih cukup tinggi berdasarkan SDKI 2007, AKB sebesar 68 per 1000 kelahiran hidup. Prevalensi gizi kurang dan gizi buruk berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dari tahun 2007 ke 2010, untuk gizi kurang tetap 13,0 dan untuk gizi buruk, dari 5,4 menjadi 4,9. Melihat data statistik tersebut tentu di Indonesia AKB maupun gizi buruk sudah sangat mengkhawatirkan.
            Faktor yang menjadi penyebab tidak langsung kematian bayi akibat gizi buruk dari sisi kebutuhan (demand), antara lain adalah sosial ekonomi yang rendah, pendidikan ibu, kondisi sosial budaya yang tidak mendukung, kedudukan dan peran perempuan yang tidak mendukung, akses sulit, serta perilaku perawatan bayi dan balita yang tidak sehat. Sementara ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan yang belum merata, kesinambungan pelayanan KIA yang belum memadai, pembiayaan pelayanan KIA yang belum memadai, menyumbangkan masalah dari sisi supplay. Faktor yang menjadi penyebab langsung yakni asupan makanan dan infeksi penyakit.
            Dalam pembahasan secara kefilsafatan, penyebab kematian bayi akibat gizi buruk dapat dikaji melalui pendekatan kajian logika dan etika. Pendekatan kajian logika dapat dikaitkan dengan faktor langsung dan faktor tidak langsung, sedangkan pendekatan kajian etika hanya dapat dikaitkan dengan faktor tidak langsung.

II.      Pendahuluan

            Mengidentifikasi masalah AKB karena gizi buruk dikaji dalam kefilsafatan, tentu jika filsafat bermain dalam diri seseorang, maka orang tersebut tidak berdasarkan pada kemutlakan teori, melainkan turut menggunakan logika yang menjadikan seseorang tidak sekedar mengetahui, tapi menjadikannya sebagai pemicu untuk turut menyelesaikannya.
            Data statistik yang menunjukan AKB dan gizi buruk yang memperihatinkan, kemudian menjadikan rasa ingin membahas penyebab AKI dan gizi buruk.
            AKB dan gizi buruk di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. Kemudian apa yang menjadikan Indonesia menjadi negara yang paling sulit menurunkan AKI karena gizi buruk? Padahal sacara logika, tanah di Indonesia sangat subur, bahari dan agraria yang sangat melimpah, Indonesia bukan negara yang mempunyai musim kekeringan panjang yang luas diberbagai daerah seperti di Afrika.
            Hal-hal yang menjadi acuan pertama dalam penanganan kasus AKI karena gizi buruk dapat melalui hal berikut: perawatan anak di tingkat rumah tangga dan keluarga, deteksi dini penyakit serta perilaku mencari pertolongan harus ditungkatkan dan meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan kesehatan.






III.    Isi

            Pengkajian kasus AKI dan gizi buruk dapat dikaji kedalam filsafat melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan kajian logika dan etika. Pendekatan kajian logika dapat dilihat dari asupan makanan dan infeksi penyakit, sedangkan pendekatan kajian etika dilihat dari faktor tidak langsung, yakni sosial ekonomi yang rendah, pendidikan ibu, kondisi sosial budaya yang tidak mendukung, kedudukan dan peran perempuan yang tidak mendukung, akses sulit, serta perilaku perawatan bayi dan balita yang tidak sehat. Berikut ini adalah penjelasan.
            Penggunaan teori yang menjadi acuan para ahli kesehatan masyarakat ialah Level of Prevention. Level of prevention terdiri dari tiga hirarki, yakni
ü  Primary prevention
Primary prevention ialah pencegahan yang dilakukan ketika belum sakit. Jadi pada hirarki ini, yang dilakukan ahli kesehatan masyarakat ialah promosi kesehatan dan perlindungan umum dan khusus terhadap penyakit.
ü  Secondary prevention
Secondary prevention ialah pencegahan yang dilakukan saat proses penyakit sudah berlangsung namun belum timbul tanda atau gejala sakit. Ha yang dilakukan ahli kesehatan yakni diagnosis dini dan pengobatan segera.
ü  Tertier prevention
Tertier prevention ialah pencegahan yang dilakukan saat proses penyakit sudah lanjut. Hal yang dilakukan tenaga ahli kesehtan masyarakat ialah pencegahan kecacatan dan rehabilitasi.


1)      Pedekatan kajian logika

      Logika terbentuk ketika data-data di dalam otak sudah ada dan terkumpul, kemudian dibuat suatu kesimpulan jika kita menyadari dan mencoba berfikir untuk menyelesaikannya. Berikut ini pembahasan faktor langsung dan faktor tidak langsung yang membuat logika kita berfikir bahwa inilah penyebab AKB karena gizi buruk, dan dikaitkan ke dalam teori level of prevention.

a)      Faktor langsung

Asupan makanan yang sangat kurang memang masalah yang umumnya diketahui oleh banyak orang, tetapi pada balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan dapat meningkatkan resiko gizi buruk, balita yang dispih kurang dari 2 tahun, balita tidak mendapat Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) pada umur 6 bulan atau lebih, MP-ASI kurang dan tidak bergizi, setelah umur 6 bulan balita jarang disusui, balita menderita sakit dalam waktu lama, seperti diare, campak, TBC, batuk, pilek. Jika pengetahuan kepada para ibu belum merata apa saja faktor pendukung gizi buruk, tentu usaha untuk menurunkan angka gizi buruk akan sulit. Disinilah peran tenaga ahli kesehatan masyarakat untuk tidak lelah merambah kepelosok untuk memberi penyuluhan kepada para ibu agar anaknya terhindar dari gizi buruk. Tindakan-tindakan tersebut lebih kearah proses pencegahan sebelum sakit, yakni termasuk kedalam primary prevention. Pembahasan primary prevention dalam konteks tersebut sebagai berikut:
Ø  Promosi kesehatan
Penyuluhan akan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama, tidak menyapih anak kurang dari 2 tahun, meningkatkan makanan bergizi bagi anak, peningkatan kualitas lingkungan agar tidak terjadi diare, TBC dan penyakit semacamnya yang bisa membuat keadaan anak semakin memburuk.
Ø  Perlindungan umum dan khusus
Cara yang dilakukan dalam tingkatan ini ialah peningkatan higenis seseorang, dengan berperilaku bersih maka ia tidak terhindar dari penyakit semacam diare. Diare merupakan penyakit yang terjadi ketika lebih dari
                        tiga kali buang air besar, kemudian feses berbentuk cair,                               dan ketika diare, air yang terbuang bersama feses                                                 mengandung ion-ion yang dibutuhkan tubuh. Jelas, jika                                    seorang anak tidak cepat-cepat diobati maka ia akan                           kekurangan cairan. Dan apabila hal itu berlangsung lama                                    akan menyebabkan gizi buruk.

b)      Faktor tidak langsung
     
      Beberapa faktor menjadi penyebab tidak langsung kematian bayi dan          balita. Dari sisi kebutuhan (demand), antara lain adalah sosial ekonomi yang rendah, pendidikan ibu, kondisi sosial budaya yang tidak   mendukung, kedudukan dan peran perempuan yang tidak mendukung       seperti ibu yang cacat ataupun sakit keras sehingga tidak bisa menjaga        anaknya dengan maksimal, akses yang sulit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan seperti posyandu atau puskesmas, serta perilaku perawatan bayi dan balita yang tidak sehat, ketersediaan sarana dan       prasarana kesehatan yang belum merata, kesinambungan pelayanan             KIA yang belum memadai, pembiayaan pelayanan KIA yang belum          memadai, menyumbangkan    masalah dari            sisi supply.
      Dari penjelasan di atas, tingkatan yang tepat juga masih dalam bentuk         primary prevention.

            Jika masih ada yang belum terselesaikan pada penjabaran faktor-faktor tersebut, tentu penurunan gizi buruk di Indonesia tidak akan terlihat secara signifikan. Jika logika dari seorang tenaga ahli kesehatan berjalan dengan hatinya dan rasa kemanusiaanya, jarak pun tidak akan menjadi tolak ukur dalam perhatian dan kebaktiannya terhadap masalah gizi buruk di Indonesia.



2)         Pendekatan kajian etika
           
            Etika adalah kebiasaan yang berkaitan dengan tindakan laku manusia. Kata yang   cukup dekat dengan etika adalah moral. Pengertian etika bertambah seiring         dengan perkembangan jaman, menutur KBBI 1988, disitu etika dijelaskan dengan    membedakan tiga arti: 1) ilmu apa yang bail dan apa yang buruk dan tentak hak            dan kewajiban moral, 2) kumpulan asaz atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, 3) nilai yang mengandung benar atau salah yang dianut oleh suatu golongan. Faktor tidak ;langsung yang mempengaruhi gizi buruk ikut turut andil, seperti      kebijakan pemerintah bagaimana menanggulangi masalah gizi buruk, kemudian keseriusan pemerintah untuk memerangi gizi buruk harus benar-benar, sebab ini             adalah masalah kemanusiaan. Setiap orang tentu ingin membantu orang-orang        pelosok yang terkena gizi buruk, kemudian tinggal bagaimana sikap pemerintah    mengkoordinir bantuan kemanusiaan dari masyarakat. Kemudian jasa pelayanan           kesehatan, harus dibutuhkan orang yang benar-benar mempunyai jiwa          kemanusiaan yang menjadikannnya rela untuk ditempatkan didaerah terpencil.       Jika komponen pemerintah, jasa pelayanan kesehatan dan masyarakat membuat             suatu konsolidasi yang kokoh, permasalahan kesehatan tersebut bisa ditekan.
                        Hal yang berkaitan dengan pendekatan kajian etika ialah secondary prevention dan tertiery prevention. Berikut ini penjelasannya:
·         Secondary prevention
Hal yang dilakukan dalam tinggkat ini ialah diagnosis dini dan pengobatan segera. Dibutukan tenaga kesehatan yang mempunyai jiwa sosial untuk membantu masyarakat yang tinggal didaerah pelosok.

·         Tertiery prevention
Pembatasan kecacatan dan rehabilitasi ialah hal yang dilakukan dalam tingkat ini. Sekali lagi diperlukan tenaga kesehatan yang mau untuk bekerja untuk masyakarakat yang tinggal didaerah pedalaman untuk senantiasa menjaga para penderita yang telah sembuh dari atrofi, yakni pengecilan otot yang dikarenakan otot tidak sering digunakan. Dan rehabilitasi merupakan pengembalian rasa semangat dan kepercayaan diri si penderita setelah sakit. Agar setelah sembuh ia bisa bersosialisasi seperti biasa dengan masyarakat.




IV.   Kesimpulan dan Saran
                        Jadi, penekanan angka anak yang terkena gizi buruk tidak bisa diselesaikan oleh     pelayanan kesehatan saja, melainkan kebijakan pemerintah dan masyarakat serta ibu    rumah tangga ikut berperan dalam menganggulangi angka gizi buruk tersebut.
                        Berikut ini masukan yang ditunjukan agar pengetahuan terbuka tentang apa saja     yang    harus dilakukan agar pencegahan gizi buruk berjalan dengan maksimal.
            1. Perawatan anak di tingkat rumah tangga dan keluarga, deteksi dini penyakit serta                          perilaku mencari pertolongan.
ü  Mendorong peningkatan perilaku hidup sehat di masyarakat termasuk partisipasi    mereka dalam kesehatan ibu dan anak.
ü  Meningkatkan pengetahuan keluarga tentang pencegahan dan deteksi dini penyakit
ü  Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam upaya kesehatan dengan penggunaan buku KIA.
ü  Penggunaan bagan MTBS dalam penanganan balita sakit
ü  Mendorong pemberdayaan perempuan, keluarga dan masyarakat
2. Meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan kesehatan
ü Penempatan bidan di semua desa
ü Penempatan dokter, bidan, dan perawat di semua puskesmas dan jaringannya
ü Kunjungan rumah
ü  Pengadaan obat program
ü  Penyediaan alat kesehatan
ü  Memperbaiki fasilitas dan sistem rujukan
ü Pelatihan, penyegaran pengetahuan, kursus bagi tenaga kesehatan
ü Perbaikan kurikulum dan metode pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan          program (pre service), peningkatan in service training
            3.  Advokasi pada pemerintah daerah / penentu kebijakan untuk:
ü  Peningkatan kemampuan ekonomi masyarakat / keluarga
ü  Memperbaiki sistem dan manajemen program
ü  Mobilisasi dukungan keuangan di daerah untuk KIA untuk pembiayaan yang lebih proporsional
ü  Peningkatan anggaran KIA di daerah dengan pendekatan investasi (lebih promotif-preventif).
ü  Berdasarkan kebijakan desentralisasi dan SPM, mengambil keputusan dengan memprioritakan investasi dan intervensi efektif KIA
ü  Membangun kemitraan yang efektif dengan lintas program dan lintas sektor
ü  Penyediaan SDM Kesehatan di seluruh puskesmas, pustu dan desa.





Referensi
            http://wartapedia.com/kesehatan/medis/1080-penanganan-gizi-buruk-di-indonesia.html        Diambil kembali dari www.google.com.
            Bertens, K. (2007). ETIKA. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
            Supariasa, I. D. (2001). Penilaian Status Gizi Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.


Pelanggaran Etika Kedokteran

I.                 Abstraksi

Pengetahuan pasien terhadap kelalaian dan malpraktik medis pada umumnya sangat kurang. Pasien umumnya hanya dapat menerima saja segala sesuatu yang dikatakan dokter tanpa dapat bertanya apapun. Dengan kata lain, semua keputusan sepenuhnya berada ditangan dokter.
Banyak kasus kelalaian medis dan malpraktik yang terjadi, namun pelakunya (dokter) tidak diberi hukuman yang setimpal. Kemudian IDI pun tidak mengambil keputusan seperti mengeluarkan dokter tersebut, sepertinya IDI sangat menjunjung tinggi teman sejawatnya.

II.            Pendahuluan

      Tulisan ini dimaksudkan untuk menambah wawasan tentang kelalaian dan malpraktik medik bagi semua pihak, agar ketertiban dalam profesi dapat diwujudkan. Selain itu, pengalaman-pengalaman buruk sebagai akibat negatif kemajuan dan perkembangan yang terjadi dimasyarakat, harus diwaspadai untuk tidak terulang dinegara kita. Semua pihak tentu tidak menghendaki peristiwa krisis malpraktik yang sangat merugikan masyarakat (seperti yang pernah terjadi di Amerika Serikat) terulang kembali di Indonesia. Maka pasien perlu dibekali ilmu tentang kelalaian dan malpraktik medik.
      Disadari atau tidak, banyak kalangan dalam masyarkat berpendapat IDI (Ikatan Dokter Indonesia) tidak pernah obyektif dalam menangani kasus-kasus pelanggaran etika yang diadukan. Buktinya selama ini nyaris tidak ada pelanggaran kode etik yag dikenakan sanksi oleh IDI, setidaknya yang diketahui masyarakat luas. Kasus-kasus yang jelas dan kasat mata melanggar etika kedokteran pun tidak pernah jelas penanganannya.
      Yang disaksikan oleh masyarakat, dokter yang diadukan melanggar etika tersebut tetap berpraktik seperti biasa, justru anehnya dengan dalih tidak ada pelanggaran etika atau pengaduan oleh masyarakat salah alamat, aneh sekali, bukan?
      Berkaitan dengan luasnya pelanggaran etika oleh para dokter dan pembiaraan oleh IDI, banyak kalangan masyarakat yang bahkan bertanya-tanya, apakah profesi kedokteran itu masih punya etika atau tidak? Kalau masih punya etika, mengapa dokter-dokter yang melanggar etika tidak secara proporsional menurut norma dan values KODEKI tersebut? Atau keberadaan IDI/MKEK malahan justru menjadi “legitimasi’ atau pembenaran terhadap pelanggaran-pelanggaran etika itu sendiri?
      Seharusnya kasus-kasus demikian itu diproses dengan proporsional, transparan, jujur dan adil, tentu jika semua itu dilakukan masyarakat akan puas dengan keputusan yang diambil oleh IDI/MKEK.
     III.     Isi

     1.  Pengertian

                        Kelalaian dan malpraktik medik merupakan sesuatu yang berbeda. Malpraktik adalah tindakan-tindakan sengaja dan melanggar hukum yang berlaku. Akibat yang ditimbulkan memang merupakan hukum yang berlaku[1]. Akibat yang ditimbulkan memang tujuan dari tindakan tersebut. Dalam kepustakaan hukum kedokteran tercatat hanya beberapa kasus saj yang dapat digolongkan sebagai kasus malpraktik, lainnya dapat berupa kelalaian atu bahkan kecelakan medik. Secara yuridis, penilaian atas tindakan dokter bukanlah berdasarkan hasil melainkan berdasarkan kepada usaha atau upaya yang sebaik-baiknya.
           
     2.   Standar Profesi Medik
           
            Menurut Leenen, bahwa apa yang dikenal dalam dunia kedokteran sebagai lege artis, pada hakekatnya adalah suatu tindak medik yang dilakukan sesuai dengan SPM tersebut. Meskipun sampai saat ini SMP belum dapat dirumuskan di Indonesia, tetapi hukum dapat merujuk pada pustaka-pustaka negeri lain yang telah memilikinya. SPM menurut Leenen terdiri dari beberapa unsur utama, yaitu:
1.         Bekerja dengan teliti, hati-hati dan saksama
2.         Sesuai dengan ukuran medis
3.         Sesuai dengan kemampuan rata-rata dibanding dengan dokter dari kategori keahlian medik yang    
            sama
4.         Dalam situasi yang sebanding
5.         Dengan sarana dan upaya yang memenuhi prbandingan wajar dibanding dengan tujuan konkret tindak
             medik tersebut.
            Seorang dokter yang menyimpang dari SPM, dikatakan telah melakukan kelalaian atau kesalahan dan hal ini menjadi salah satu unsur dari malpraktik medik, yakni apabila kesalahan atau kelalaian itu bersifat sengaja serta menimbulkan akibat yang serius atau fatal pada pasien.
Kemudian jika seorang dokter yang melanggar atau menyimpang dari SPM dikatakan telah melakukan kesalahan profesi tetapi belum tentu merupkan malpraktik medik yang dipidana. Untuk pemidanaan suatu malpraktik medik perlu ada pembuktian adanya unsur kelalaian berat, dan akibat fatal atau serius karena ilmu kedokteran sebenarnya berdasarkan ilmu dan pengalaman, maka tidak ada hal yang bsolut dalam ilmu kedokteran, dan seorang dokter dapat memilih satu dari beberapa alternatif yang ada. Beberapa penulis mengatakan bahwa perbedaan pendapat antara seorang dokter bukan berarti pelanggran SPM, karena dokter dapat memilih pilihan pengobatan sepanjang kesetujuan dari pasien dan masih dalam batasan ilmu kedokteran.         


          3. Aspek pidana tindak malpraktik dan kelalaian medik

            Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana, apabila secara teoritis paling sedikit mengandung 3 unsur, yaitu:
1. melanggar norma hukum pidana tertulis
2. bertentangan dengan hukum
3. berdasarkan suatu kelalaian atau kesalahan besar
            Dalam bidang hukum, hukum pidana termasuk dalam hukum yang berlaku umum, dimana setiap orang harus tunduk kepada peraturan ini dan pelaksanaan peraturan ini dapat dipaksakan. Setiap anggota masyarakat (termasuk dokter) tanpa kecuali harus taat, juga termasuk orang asing yang berada dalam yuridiksi negara RI.
            Tuntutan malpraktik berdasarkan HukumPidaan yang tercatat dalam literatur sebenarnya tidaklah banyak. Meskipun demikian, perlu diketahui beberapa perbuatan yang dapat dikategorikan dalam malpraktik pidana, antara lain:
v  Menipu pasien (pasal 378 KUHP)
v  Tindak pelanggaran kesopanan (pasal-pasal 290, 294, 285, dan 286 KUHP)
v  Pengguguran kandungan tanpa indikasi medik (pasal-pasal 299, 348, 349, dan 350 KUHP)
v  Sengaja membiarkan pasien tidak tertolong (pasal 322 KUHP)
v  Membocorkan rahasia  medik (pasal 322 KUHP)
v  Lalai sehingga mengakibatkan kematian atau luka-luka (pasal 359, 360, dan 361 KUHP)
v  Memberikan atau menjual obat palsu (pasal 386 KUHP)
v  Membuat surat keterangan palsu (pasal 263 dan 267 KUHP)
v  Melakukan Euthanasia (pasal 344 KUHP)

Aspek perdata Malpraktik dan kelalaian medik
Berbeda dengan hukum pidana yang bertujuan menyeleggrakan ketertiban dan keamanan dalam masyarakat, hukum perdata menganut prinsip “Barang siapa merugikan orang lain, harus memberikan ganti rugi.”
v  Wanprestasi (pasal 1239 KUHPerdata)
v  Perbuatan melanggar hukum (pasal 1365 KUHPerdata)
v  Melalaikan kewajiban (pasal 1367 KUHPerdata)
v  Kelalaian yang mengakibatkan kerugian (pasal 1366 KUHPerdata)

          4. Kasus Malpraktik yang terjadi di Indonesia

            Contoh kasus malpraktik yang pernah terjadi ialah kasus Sita Dewati Darmoko. Dia istri bekas Direktur Utama PT aneka tambang, Darmoko. Menderita tumor ovarium, Sita dioperasi di satu rumah sakit di Jakarta. Keluar dari kamar bedah, sita malah tambah parah. Dia akhirnya meninggal.rumah sakit menjanjikan ganti rugi Rp. 1 miliar, tapi ingkar. Akhirnya keluarga almarhum menggugat perdata rumah sakit tersebut. Majelis mengabulkan. Rumah sakit harus membayar Rp. 2 miliar kepada keluarga malang itu. Hakim menyebut dokter itu tidak teliti.
            Dari contoh kasus di atas, dokter tersebut jelas melanggar kode etik kedokteran, kerena dokter tersebut menyimpang dari Standar Profesi Medik. Dokter tersebut terkena pasal pasal 359, 360, dan 361 KUHP karena lalai sehingga mengakibatkan kematian orang lain. Dan terkena hukum perdata karena Kelalaian yang mengakibatkan kerugian (pasal 1366 KUHPerdata).
            Kasus tersebut merupakan salah satu kasus malpraktik yang bisa terungkap dan dapat penyelesaian secara tuntas. Tetapi masih banyak kasus malpraktik yang sudah mencuat kemuka publik tetapi tidak mendapat penyelesaian secara tuntas, tidak hanya itu, kasus malpraktik yang tidak dilaporkan pun banyak, keluarga korban malpraktik hanya bisa pasrah menghadapi kenyataan. Berikut ini contoh kasus malpraktik yang pelakunya (dokter) tidak mendapatkan ganjaran yang setimpal.
Malpraktik sangat trekenal adalah kasus di Wedariyaksa, Pati, Jawa Tengah, pada 1981. Seorang wanita, Rukimini Kartono, meninggal setelah ditangani Setianingrum, seorang dokter puskesmas. Pengadilan Negeri memvonis si dokter bersalah. Dia dihukum tiga bulan penjara. Dia selamat dari hukuman, setelah kasasi ke Mahkamah Agung. (VIVAnews)
             Dokter tersebut jelas melanggar kode etik kedokteran, kerena dokter tersebut menyimpang dari Standar Profesi Medik. Dokter tersebut terkena pasal pasal 359, 360, dan 361 KUHP karena lalai sehingga mengakibatkan kematian orang lain. Dan terkena hukum perdata karena Kelalaian yang mengakibatkan kerugian (pasal 1366 KUHPerdata).
            Melihat kasus-kasus malpraktik yang semakin meningkat frekuensinya tentu pemerintah tidak bisa tinggal diam. Kemudian landasan utama eksistensi dan legitimasi dari organisasi profesi yang disebut IDI ialah Kode Etik Kedokteran dan Sumpah dokter. Tujuan dan fungsi utama organisasi ini ialah menjaga martabat luhur profesi kedokteran, yakni dengan melaksanakan dan mengamalkan KODEKI tersebut secara konsisten dan konsekuen. Itulah sebenarnya hakikat dan “khittah” dari IDI. Disadari atau tidak, banyak kalangan dalam masyarakat berpendapat IDI tidak pernah objektif dalam menangani kasus-kasus pelanggaran etika yang diadukn. Buktinya selama ini nyaris tidak ada pelanggaran KODEKI yang dikenakan sanksi oleh IDI, setidaknya yang diketahui masyarakat luas. Kasus-kasus yang jelas dan “kasat mata” melanggar etika kedokteran pun tidak pernah jelas penanganannya.
            Sebaliknya, dikalangan dokter sendiri berkembang suatu mispersepsi yang sangat menyesatkan, berpegang pada diktum “Teman sejawat akan saya perlakukan sebagai saudara kandung” yang merupakan Kewajiban Dokter terhadap teman sejawat sebagai bagian dari KODEKI. Dengan begitu, IDI telah dipersepsikan secara sempit sebagai organisasi yang fungsi utamanya adalah membela para anggotanya yang disebut dokter, apa pun yang dilakukannya. Apalagi dengan telah membayar iuran, beberapa kalangan dokter berpendapat IDI harus membla dokter, melanggar atau tidak melanggar etika.          
          5. Perselisihan Hukum Kedokteran dan Pembuktiannya

            Dalam negara hukum sepeti yang dianut Indonesia berlaku asas utama rule of law yang diterjemahkan sebagai Aturan Hukum yang salah satu unsurnya adalah Asas Prduga Tak Bersalah. Asas ini menegaskan bahwa seorang tersangka harus dianggap tidak bersalah sampai dapat dibuktikan kesalahannya, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 66 kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP) yang berbunyi “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani beban pembuktian:. Selanjutnya pasal 58 KUHP juga menegaskan “Hakim dilarang menunjukan sikapatau mengeluarkan pernyataan tentang keyakinana mengenai masalah salah atau tidaknya terdakwa.” Bagaimana dengan perselisihan hukum yang terjadi diantara dokter dan pasien yang pengaturannya berada dalam lingkup hukum kedokteran?
            Pertama, harus diingat bahwa sesuai dengan status negara hukum Indonesia, maka setiap warga tanpa kecuali harus taat dan tunduk kepada hukum. Dalam hal ini  dokter pun harus tunduk kepada hukum dengan segenap asa-asanya.
            Kedua, dalam perselisihan hukum apapun, selalu akan diawali dengan pertanyaa : apakah ada bukti untuk perkara tersebut? Kemudian apakan bukti tersebut sudah meyakinkan?
            Ketiga, hukum kedokteran termasuk dalam lingkup ilmu hukum yang berlaku asas-asas serta prinsip-prinsip ilmu hukum dan sama sekali bukanlah asas atau prinsip ilmu kedkteran.
            Keempat, perkara hukum kedkteran umumny memiliki ciri khusus bahwa perkara hukum kedokteran yang merupakan delik aduan lebih menyoroti masalah proses timbulnya perkara, bukan pada hasil atau akibat perbuatan tersebut. Dengan demikian, dapat saja terjadi seorang pasien meninggal ditangan seorang dokter tetapi dokter itu tidak dihukum karena semua proses hukum telah dipenuhinya secara benar, yaitu pemenuhan SPM.

5. Kode Etik Kedokteran di Singapura

Tentang Mengakibatkan mati atau luka karena kealpaan

Section 304 A

Whoever causes the death of any person by doing any rash or
negligent act not amounting to culpable homicide, shall be punished with imprisonment for a term which may extend to two years, or with fine, or with
both.[2]





KUHP Singapura
KUHP Indonesia
Pasal 304 A
Barangsiapa menyebabkan
kematian seseorang yang dilakukan
dengan gegabah atau kelalaian,
perbuatan tersebut tidak sama
dengan pembunuhan bersalah ,
dapat dipidana dengan pidana
penjara untuk jangka waktu paling
lama dua tahun atau denda, atau
keduanya.                       
Pasal 359
Barang siapa karena kealpaannya
menyebabkan matinya orang lain
diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau kurungan
paling lama satu tahun

            Tindak pidana dalam pasal 304 A ini , sama dengan tindak pidanadalam pasal 359 KUHP Indonesia , tetapi rumusan pidananya berbeda. Dalam KUHP Singapura pidananya dirumuskan secara alternatif – kumulatif yaitu pidana penjara paling lama dua tahun atau denda , atau keduanya , yang dimaksud dengan keduanya adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun ditambah denda. Dalam KUHP Indonesia pidananya dirumuskan secara alternative yaitu pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama 1 tahun . Dengan memperhatikan dan menganalisa serta membandingkan KUHP, Konsep KUHP 2008, KUHP Singapura maka dapat diambil kesimpulan bahwa kebijakan hukum pidana yang akan datang :
Berkaitan dengan kebijakan hukum pidana yang akan datang yang berhubungan dengan penanggulangan tindak pidana malpraktik kedokteran dirasakan perlu menggunakan sistem pidana minimum khusus sebagaimana di dalam konsep. Menurut Barda Nawawi Arief adanya pidana minimum khusus untuk delik – delik tertentu mempunyai suatu landasan antara lain

1) Untuk mengurangi adanya disparitas pidana
2) Untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya standar minimal yang  
    objektif untuk delik – delik yang sangat dicela dan merugikan atau membahayakan masyarakat  
    atau negara

3) Untuk lebih mengefektifkan prevensi umum
           
            Mengenai Pertanggungjawaban korporasi sebenarnya telah diatur di dalam Pasal 41 ayat 2 Undang – Undang Praktik kedokteran yaitu membuat daftar dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di sarana pelayanan kesehatan yang bersangkutan, tetapi sanksi terhadap pelanggaran kewajiban tersebut tidak diatur secara jelas mengenai sanksi
yang dapat dijatuhkan.
            Sanksi yang berkaitan dengan korporasi hanya yang berkaitan dengan larangan yang tercantum dalam Pasal 42 Undang – Undang Praktik kedokteran dimana sarana pelayanan kesehatan dilarang mengizinkan dokter berpraktik tanpa ada surat izin praktik . Ketentuan tentang sanksi yang berkaitan dengan korporasi tersebut diatur di dalam Pasal 80 ayat 2 Undang
– Undang Praktik kedokteran. Oleh karena itulah maka kebijakan formulasi hukum pidana yang akan datang khususnya yg terdapat di dalam Undang – Undang 29 Tahun 2004 dapat diperluas tidak hanya terpusat pada pelanggaran membuat daftar dokter semata.

IV. Kesimpulan dan saran
           
            Kesimpulan

ü  Malpraktik adalah tindakan-tindakan sengaja dan melanggar hukum yang berlaku. Akibat yang ditimbulkan memang merupakan hukum yang berlaku

ü  Setiap dokter harus menggunakan SPM agar tidak terjadi malpraktik yang akan merugikan dirinya maupun pasien
ü  Ada dua aspek hukum kedokteran, yakni aspek hukum pidana dan aspek hukum perdata
ü  Tindak pidana dalam pasal 304 A ini , sama dengan tindak pidanadalam pasal 359 KUHP Indonesia , tetapi rumusan pidananya berbeda. Dalam KUHP Singapura pidananya dirumuskan secara alternatif – kumulatif yaitu pidana penjara paling lama dua tahun atau denda , atau keduanya , yang dimaksud dengan keduanya adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun ditambah denda. Dalam KUHP Indonesia pidananya dirumuskan secara alternative yaitu pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama 1 tahun .

Saran

ü  IDI harus bersikap objektif terhadap para dokter yang melakukan kasus malpraktik
ü  Penambahan dokter-dokter yang berkualitas, karena Ikatan dokter Indonesia hanya memiliki dokter sebesar 50.000
ü  Kasus malpraktik ini juga dikarenakan seorang dokter memiliki lebih dari 3 tempat praktik, maka keasal-aslan dalam memeriksa dan mengidentifikasi penyakit pasien tdak maksimal, tidak heran jika kasus malpraktik marak terjadi. Sehingga harus ada pembatasan tempat praktik bagi para dokter.












Referensi

Achadiat, c. M. (2007). Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zama. Jakarta: pENERBIT Buku Kedokteran EGC.
http://sorot.vivanews.com/news/read/34856-tabib_pengantar_maut. (t.thn.). Diambil kembali dari www.google.com.




[1] Chrisdiono M. Achadiat, Dinamika etika dan Hukum KEDOKTERAN dalam Tantangan Zaman, Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal 56.
[2] Republik of Singapore Chapter 103, Penal Code, Arrangement of Section, Edition of 1970